Lebih dari dua tahun tidak lewat Puncak, saya lupa kalau hari Minggu ini bertanggal ganjil. Pukul 06:00, saya pun berangkat ke Cianjur naik Kijang Innova yang bernomor polisi genap.
Keluar dari exit toll Gadog, empat polisi menyetop mobil saya. “Ambil jalur kanan. Putar balik!” kata polisi itu.
Sebelumnya beberapa “joki” menawarkan jasa memandu lewat jalan tikus untuk menghindari barikade polisi itu, tetapi saya tolak. Kapok.
Dulu pernah menggunakan jasa mereka, ternyata di sepanjang jalan kampung itu, ada puluhan “pos” pemeriksaan ilegal yang minta duit. Mobil Rp 10.000. Sepeda motor Rp 2.000.
Saya lupa-lupa ingat. Uang cash yang harus saya keluarkan untuk membuka portal-portal itu lebih dari Rp 150.000. Tiap 100 meter ada portalnya. Kalau dikasih pecahan Rp 20.000 tidak dikembalikan. Dikasih lembaran Rp 5.000 katanya masih kurang.
Hanya untuk jarak tidak sampai 2 Km, biayanya sudah semahal itu. Padahal tarif tolnya waktu itu masih di bawah Rp 10.000.
Tapi kali ini saya tidak punya pilihan. Polisi itu sudah memerintahkan agar saya segera masuk ke jalur kanan untuk putar balik kembali ke jalan tol menuju Jakarta. Apa boleh buat.
Mertua bingung ketika melihat saya sudah tiba di rumah lagi. Padahal baru pukul 08:00. Normalnya, dua jam perjalanan, saya baru tiba di Cianjur. “Terpaksa ganti mobil plat ganjil, karena dicegat polisi di Gadog,” kata saya sembari mencari kunci Xenia.
Sejam kemudian saya sudah sampai lagi di exit toll Gadog. Anehnya, para “joki” sudah tidak ada lagi. Begitu pun empat polisi yang berjaga di dekat tugu batas kota. Penanda marka jalur ganjil dan genap juga sudah dirapikan.
Sambil berjalan perlahan saya amati nomor polisi yang ada di depan saya. Kebanyakan memang mobil bernomor polisi ganjil. Tetapi ada beberapa yang nomor polisinya genap.
Saya jadi bingung sendiri. Bagaimana sebenarnya aturan ganjil genap di ruas Gadog? Apakah hanya sampai pukul 09:00 pagi?
Ah, sudahlah.
Tiba-tiba Pak Efrizal Ali, tokoh masyarakat desa Sarireja Kecamatan jalan Cagak, Kabupaten Subang, menelepon. Ia mengabarkan kalau sudah selesai membongkar donasi buah nanas sebanyak dua ton di gudang Poskor Lazismu – MDMC – Muhammadiyah di Cianjur.
Gara-gara tukar mobil, saya gagal bertemu Pak Efrizal. Padahal saya mau ke Cianjur untuk menemuinya sekaligus mengambil dan membayar keripik nanas dan wajik nanas yang saya pesan, senilai Rp 350.000.
Pak Efrizal buru-buru pamit karena akan mrneruskan pekerjaan mengirim dua ton buah nanas ke gudang PT Laris Manis Indonesia (LMI), distrbutor nanas simadu untuk hypermarket di Jakarta. “Pesanan Pak Joko saya titip ke petugas Lazismu. Tersimpan dalam dus,” katanya.
Bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur, saya tiba di Poskor Lazismu – MDMC – Muhammadiyah, di kompleks SMA Islam Kreatif Muhammadiyah Cianjur. Inilah sekolah milik Muhammadiyah satu-satunya di Cianjur yang kerusakannya paling sedikit. Kebetulan gedungnya banyak, masjidnya besar, air bersihnya lancar dan lahan parkirnya sangat luas.
Di kompleks sekolah inilah semua kegiatan pendukung aksi kemanusiaan Muhammadiyah dipusatkan. Salah satunya: Dapur umum khusus relawan, tenaga perawat dan medis. Relawan dari organisasi apa pun boleh makan di sini.
Setiap hari dapur umum itu menyediakan makan antata 350 – 400 porsi. Sehari tiga kali: pagi, siang dan sore.
Dapur umum diawaki 20 orang terdiri atas para guru dan siswa sekolah Muhammadiyah yang berstatus relawan. Ada 17 sekolah Muhammadiyah yang terdampak gempa dua pekan lalu. Sekolah-sekolah itu untuk sementara diliburkan sampai masa tanggap darurat dinyatakan selesai.
Sambil menunggu perkembangan, mereka bertugas bergantian. Poskor itu juga dilengkapi penginapan. Beberapa ruangan kelas sudah disulap menjadi kamar istirahat bagi petugas dapur umum, driver ambulans, perawat, dokter dan relawan evakuasi yang jumlah ratusan orang.
Melihat semua aktivitas para relawan selama dua jam di Poskor, saya merasa haru dan bangga. Haru karena mereka sudah dua minggu bertugas tanpa kenal lelah. Bangga karena begitu banyak elemen Persyarikatan yang terjun di Cianjur. Saling bantu. Begotong-royong. Seakan-akan mereka sudah kenal lama. Padahal baru sekali ketemu muka gara-gara bencana.(jto)